Paradigma Kritis

Jumat, 18 Desember 2009

BUNDA

1 komentar
Kasih Ibu
Kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi
Tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia.
Ibu adalah sosok yang dekat dengan makna kasih sayang, kedamaian, pengorbanan dan pengabdian yang tulus. Peran ibu sangat besar dalam mewarnai corak sebuah generasi. Wajar, bila suatu Agama menempatkan wanita sebagai tiang Negara. Itu berarti keberadaan dan peranannya menentukan kualitas sebuah bangsa. Bahkan pujian yang luar biasa ketika Islam mengkiaskan bahwa surga berada di “bawah telapak kaki ibu”. Demikian tinggi penghargaan dalam Agama terhadap kaum ibu. Dalam lirik lagu diatas sangatlah jelas terlihat betapa besar kasih ibu terhadap anaknya namun yang menjadi pertanyaan sudahkah kita memberi yang terbaik terhadap ibu kita? Apa pula yang bangsa berikan kepada “tiang negara” ini???

Sejarah Singkat Hari Ibu di Indonesia
Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.
Peristiwa itu dianggap sebagai salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah se-Nusantara berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara; pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perdagangan anak-anak dan kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya. Tanpa diwarnai gembar-gembor kesetaraan jender, para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa.
Penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Peringatan 25 tahun Hari Ibu pada tahun 1953 dirayakan meriah di tak kurang dari 85 kota Indonesia, mulai dari Meulaboh sampai Ternate.
Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Peran Ibu dalam Membangun Identitas Bangsa
Untuk membangun identitas manusia, dalam pertumbuhannya berusaha mencerna apa yang ada di sekitar lingkungannya, bertindak dan berpikir sesuai dengan kondisi sosial yang melingkupinya. Bagian utama dari suatu bangunan identitas adalah proses panjang penilaian terhadap diri sendiri serta usaha individu untuk menguasai dirinya sendiri.
Dalam proses selanjutnya, setelah individu mengenal tentang dirinya, ia mampu mengembangkan dirinya melalui penelaahan yang lebih dalam terhadap pengalaman-pengalaman dan informasi yang ditangkapnya. Melalui penahapan tersebut manusia terus membangun dirinya. Berdasar pada penahapan tersebut maka identitas individu bukanlah sesuatu yang statis melainkan selalu berkembang sesuai tuntutan sosial.
Selanjutnya manusia berada dalam ruang bersama yang lebih luas yang mencakup konsep ruang dan waktu. Ruang kolektif tersebut dipahami secara relatif sejauh kemampuan manusia mencernanya. Maka dalam proses interaksi tersebut identitas individu melebur dalam suatu sudut pandang kolektif sehingga timbul identitas kolektif dan kita mengenalnya sebagai identitas kelompok, identitas warga dan identitas bangsa. Dari rantai kehidupan tersebut sangatlah jelas terlihat seorang ibu yang memiliki peran penting dalam membangun identitas bangsa ini.

Dilema Ibu
Berperan sebagai ibu ideal tentu adalah cita-cita seorang ibu. Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi generasi unggul yang akan mewarisi negeri ini. Namun, seorang ibu dihadapkan pada banyak tantangan. Tantangan terbesar tentu faktor ekonomi salah satunya. Banyak ibu yang terpaksa meninggalkan rumah untuk ikut menopang ekonomi keluarga. Gaji suami yang tidak memadai, atau bahkan suami yang sudah tidak mampu menafkahi seluruh angota keluarganya, sementara harga-harga kebutuhan yang makin melambung tinggi, diberbagai sector kehidupan (pangan, sandang hingga pendidikan) sehingga membuat para ibu terpaksa turun tangan ikut bekerja. Demi kesejahteraan keluarganya terutama buah hatinya.
Peran ganda seorang ibu tersebut terkadang membuat psikologi anak merasa kurang diperhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang kurang hingga tak jarang terjadi berbagai kasus kenakalan remaja. Seharusnya disinilah tugas pemerintah untuk menjamin agar ibu bisa menjalankan peran keibuannya tersebut dengan sempurna. Bukan malah mendorong ibu untuk bekerja keluar rumah, bahkan keluar negeri dengan memberikan julukan pahlawan devisa. Itu sama artinya negara ini tengah menjual masa depannya. Sesungguhnya, ibu punya tanggungjawab besar di pundaknya untuk masa depan bangsa. Maka, tidak salah kalau dikatakan perempuan adalah tiang negara. Bila Tiang itu Roboh, maka Tunggulah Waktu Keruntuhan Negara.

Sabtu, 24 Oktober 2009

KEKUATAN DIBALIK KELEMAHANPEREMPUAN

1 komentar
PENDAHULUAN

Selama ini, fenomena ketidak adilan atau kelemahan-kelemahan terhadap perempuan kerap kali mewarnai diberbagai sektor; pada sektor public maupun domestic, diruang sosial maupun privat. Pada ruang-ruang itulah perempuan didefinisikan, dihadirkan dan diperlakukan.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwasanya dokrin yang sudah mengakar dimasyarakat. Pososisi laki-laki dianggap sebagai jenis kelamin utama dan perempuan berada dalam posisi kedua sebagai jenis kelamin kedua (the second sex). Anggapan seperti ini telah lama mengendap dialam bawah sadar manusia dan membentuk etos kerja yang timpang antara kedua jenis hamba Allah tersebut. (Nasarudin Umar, Qur’an untuk perempuan; I)
Guratan sejarah dunia banyak bercerita, bahwa laki-laki begitu mendominasi. Hal tersebut terjadi secara alami karena selama ini laki-laki berperan sebagai pemimpim, pelindung dan pencari nafkah. Bila suatu saat tampuk kepemimpinan jatuh pada perempuan maka akan terjadi kontroversi, namun adapula sejarah yang pernah membuktikan perempuan mampu mengalahkan kekuatan laki-laki. Sebagai contoh Cleopatra dengan rupa yang menawan, perempuan ini mampu menaklukan atau paling tidak menyaingi kepopuleran laki-laki yang menjadi pasangannya yaitu Julius Caesar dan Marcus Antonius.
Selain Cleopatra masih banyak contoh-contoh perempuan Indonesia yang memiliki kiprah atau peranan yang tidak kalah hebatnya dengan laki-laki, antara lain R.A. Kartini, Mega Wati Sukarno Putri dll. Walaupun image mereka lemah namun mereka bisa membuktikan dibalik kelemahan terdapat kekuatan seorang perempuan yang sangat besar dan tidak kalah dengan laki-laki. Maka hal tersebut dapat dibuktikan bila ada kemauan dalam diri kita sendiri.

PEMBAHASAN
I. Pengertian Perempuan.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam penggunaan istilah perempuan. Kata perempuan berasal dari empu yang artinya dihargai (jurnal ilmu dan kebuyaan, ulumul Qur’an; 13. Hamka empu dalam empu jari mengandung arti penguat jari, sehingga jari tidak dapat menggenggam erat atau memegang teguh kalau empu jarinya tidak ada. (Hamka, kekuatan perempuan dalam Islam; 82)
Kata perempuan, dianggap berasal dari bahasa sansekerta, dengan dasar kata wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau merupakan objek seks. Jadi secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita
menjadi perempuan adalah mengubah obyek menjadi subyek. (Zaitunah Subhan, Kodrat Perempuan; 2)
Dalam bahasa Inggris wan ditulis dengan kata wanta tau men dalam bahasa Belanda, wun dan schen dalam bahasa Jerman. Kata-kata tersebut memiliki arti like, wish, desire, aim. Kata want dalam bahasa Inggris bentuk lampaunya adalah wanted. Jadi, perempuan adalah who is being wanted (seseorang yang dibutuhkan) yaitu seseorang yang dihasrati atau diinginkan. (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, kamus besar bahasa Indonesia; 448)

II.Asal Kejadian Perempuan Sebagai Manusia
Dalam tradisi Islam diyakini dan dikenal empat macam cara penciptaan manusia, antara lain: (Nurjannah Ismail, perempuan dalam pasung;163)
1)Diciptakan dari tanah (penciptaan Adam) dalam surat: S.father[35];11, S.ash-Shaffat[37];11, dan S.al-Hijr[15];26.
2)Diciptakan dari “tulang rusuk” Adam (penciptaan Hawa) dalam surat: S.an-Nisa’[4];1, S.al-A’raf [7];189 dan S.az-Zumar[39];6.
Bahkan ada pula hadits yang menyatakan bahwa perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki “saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada kaum
perempuan, karena perempuan diciptakan dari tulang rusuk dan bagian tulang yang bengkok adalah bagian paling atas. Maka jika kamu berusaha untuk meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya dan bila kamu membiarkan sebagaimana adanya maka iya akan tetap dalam keadaan bengkok. Maka saling berpesanlah kalian untuk
berbuat baik kepada kaum perempuan” (HR. Bukhori dan Muslim) atau perempuan bagaikan tulang rusuk “perempuan bagaikan tulang rusuk, jika kamu berusaha untuk
meluruskannya maka kamu akan mematahkannya. Dan jika kamu ingin mengambil manfaat darinya, maka kamu akan memperoleh manfaat itu, sementara dia masih tetap dalam keadaan bengkok”
Dari hadits-hadits tersebut memang memiliki sanad yang bernilai shahih, namun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama dan sarjana menyangkut matannya, khususnya matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Diantara mereka ada yang menerima dan ada pula yang menolak. Pada kelompok yang menerima, ada dua pendapat yaitu:
Ø Mengartikan secara tekstual, bahkan digunakan untuk menafsirkan QS.an-Nisa [4];1, tentang penciptaan awal manusia, sehingga menurut mereka Hawa diciptakandari tulang rusuk Adam.
Ø Mengartikan hadits tersebut secara metaforis, bahwa kaum laki-laki harusberlaku baik dan bijaksana dalam menghadapi perempuan dalam keadaan apapun.
Sementara kelompok yang menolak hadits tersebut berargumen bahwa hadits tersebut harus ditolak karena isinya tidak sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Hadits-hadits tersebut walaupun sanadnya sahih, tetapi memiliki matan yang berbeda-beda dan sulit untuk ditentukan mana matan yang benar. Namun demikian apabila ditempatkan dalam konteksnya secara tepat dan dipahami secara utuh dari keseluuhan matan yang ada, tidak hany parsial dari kalimat per kalimat atau matan
permatan.Maka hadits-hadits tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penciptaan
awal perempuan. Hadits-hadits tersebut berisikan pesan nabi kepada kaum laki-laki saat itu untuk berlaku baik kepada istri-istri dan anak-anak perempuan mereka serta
seluruh kaum perempuan yang ada disekitar mereka. Pesan nabi tersebut merupakan salah satu manifestasi dari semangat ajaran Islam yang hendak menempatkan laki-laki dan perempuan secara sejajar dalam berbagai bidang dan kesempatan. (Hamim Ilyas, Perempuan Tertindas? Kajian hadits-hadits; 49-50)
3) Diciptakan melalui seorang ibu dengan proses kehamilan tanpa ayah, baik secara hukum maupun biologis (penciptaan Isa) dalam surat: S.Maryam[19];19-22.
4) Diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum atau minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan Isa) dalam surat: S.al-Mu’minun[23];12-14

III.Fenomena Yang Terjadi Saat Ini.
Dewasa ini banyak fenomena-fenomena ketidak adilan terjadi yang sangat merugikan bagi pihak kaum hawa. Perempuan-perempuan yang terjajah, baik dari segi mental hingga fisik dengan berbagai macam alasan yang terkadang tidak masuk diakal, dari masalah pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, keinginan poligami dan sebagainya, namun acapkali kaum perempuan yang teraniaya tersebut justru lebih memilih untuk diam menerima perlakuan kasar tersebut. Karena pertimbangan mempertahankan rumah tangga dan masa depan anak hasil perkawinannya.
Peristiwa tersebut sering terjadi karena kurangnya ilmu dan keberanian untuk melakukan perlawanan guna membela dan mempertahankan kebebasan dirinya sendiri.
Dari berbagai aspek pun terkadang perempuan Indonesia masih termarjinalkan akibat dokrin yang tebangun di masyarakat. Dalam hal pendidikan, pekerjaan perempuan masih ditempatkan pada posisi nomer dua setelah laki-laki.
Padahal menurut Zainah Anwar, seorang aktivis hak-hak kaum perempuan dari Sister in Islam (SIS), Kualalumpur, Malaysia, pendapat bahwa kaum laki-laki mempunyai mental “rendah diri” menghadapi bangsa barat yang modern dan maju. Adapun srategi atau cara mereka untuk bisa “pe-de” atau yakin diri adalah dengan menunjukan “keperkasaan” mereka kepada kaum perempuan yang sudah lemah dan dianggap lemah selama ini. (ibid, Qur’an untuk perempuan; xiv)

IV.Kelebihan atau Kekuatan yang Dimiliki Perempuan
Allah SWT. menciptakan perempuan dengan berbagai macam keutamaan dan kelebihan, yang tanpa kita sadari kelebihan tersebut mampu menyetarakan kedudukan kita dengan laki-laki, antara lain kelebihan itu:
Ø Allah menciptakan bahu, agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya, disaat yang sama bahu juga cukup nyaman untuk menahan kepala bayi yang sedang tertidur.
Ø Perempuan memilik kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya. Walaupun sering pula iya menerima cercaan dari ank-anaknya setelah dewasa.
Ø Perempuan memiliki keperkasaan, yang akan membuatnya tetap bertahan, pantang menyerah saat pasangannya telah putus asa.
Ø Perempuan memiliki kesabaran untuk merawat keluarganya, walaupun dalam keadaan lelah tanpa sedikitpun ada keluh kesah dilakukannya dengan ikhlas.
Ø Perempuan memiliki perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anak-anaknya, dalam kondisi dan situasi apapun. Walaupun tak jarang anak-anaknya tersebut melukai perasaan dan hati. Perasaan itu pula yang memberikan kehangatan pada bayi-bayinya yang terkantuk menahan lelah. Sentuhan yang memberikan kenyamanan saat didekap lembut oleh sang ibundanya.
Ø Perempuan memiliki kekuatan untuk membimbing suaminya untuk melalui masa-masa sulit dan menjadi pelindung bagi suaminya saat melalui masa-masa yang tak pernah dibayangkan.
Ø Perempuan memiliki kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian dan menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah suami yang tidak pernah menyakiti atau melukai istrinya dalam keadaan apapun. Walaupun, sering kali pula kebijaksanaan itu akan menguji setiap kesetiaan kedua belah pihak.
Selain berbagai macam kekuatan yang dimiliki perempuan, perempuan pun memiliki air mata sebagai media untuk mencurahkan perasaannya yang tak tersampaikan oleh rekan hidupnya. Inilah yang khusus Allah SWT. berikan agar dapat digunakan sewaktu-waktu kapanpun dan dimanapun iya berada dan inginkan.
Hanya inilah kelemahan yang dimiliki seorang perempuan walaupun sebenarnya air mata itu adalah air mata kehidupan.

PENUTUP
Pada era yang semakin berkembang dan tradisi-tradsi semakin terkikis perempuan yang dulu selalu teraniaya kini saat untuk bangkit dan mennjukan pada dunia bahwa perempuanpun memiliki kekuatan yang belum tentu dimiliki oleh laki-laki. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam berbagai bidang atau aspek bukanlah saatnya lagi adanya diskriminasi bagi hak-hak perempuan yang ingin menunjukan bakat yang mereka pendam sekian lama
Budaya yang membelenggu hak perempuan lambat laun akan runtuh oleh cita-cita R.A. Kartini yang tertuang dalam bukunya “Habis Gelap Terbitlah Terang” tahun 1911, yang diterbitkan tujuh tahun setelah R.A. Kartini wafat. Buku tersebut memuat surat-surat beliau kepada sahabat-sahabatnya, yang berisikan keluh kesah, kejengkelan, harapan, dan cita-cita untuk mengangkat derajat perempuan. Walaupun hanya sebatas keinginan dan harapan serta gagasan, akan tetapi buku ini benar-benar menjadi penerang kaum perempuan di masa ketertindasannya.
Banyak gagasan-gagasan Kartini yang mewarnai perjalanan sejarah peradaban perempuan. Memasuki era pembebasan dari belenggu feodalisme, semangat Kartini mulai menempatkan perempuan sejajar dengan kaum laki-laki yang tidak terbelengu lagi dengan kelemahan-kelemahannya. Perempuan telah memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam menimba ilmu dan beraktivitas diluar rumah.
Menurut R.A. Kartini menyimpulkan bahwa penyebab utama keterbelakangan bangsanya adalah karena tidak adanya kesempatan mendapatkan pendidikan terutama bagi perempuan. (Nusa Indah, kartini edisi april 2006;3)
Namun saat ini kesempatan untuk memperoleh pendidikan serta pekerjaan bukanlah hal yang “tabu” lagi dan perlindungan terhadap perempuan pun kini telah tersusun rapi didalam undang-undang Negara. Tidak perlu lagi adanya rasa takut terhadap sikap-sikap arogan kaum lelaki yag bertindak semaunya tanpa memirkan hak yang dimiliki perempuan dan laki-lak pun sama dimata Allah SWT. karena hanya amal ibadah dan perbuatan sela didunialah yang membedakan perempuan dan laki-laki dimata Allah kelak.

HARAPAN ANAK BANGSA

0 komentar
 Saat kau terpilih, jutaan asa berharap perubahan
Saat kau dilantik, jutaan jiwa terpatri sumpah yang kau ucap
Janji perubahan akan tetap bersemayam dalam relung hati anak bangsa
Detik waktu merupakan saksi bisu kebijakanmu saat menentukan nasib bangsa
Jangan biarkan decak kagum berubah menjadi umpatan geram
Peluh rakyat jelata menjadi parameter keberhasilan
Saat tangis berubah menjadi tawa
Harapan Anak Bangsa hanyalah Keadilan di Negerinya sendiri
Yang makin usang dimakan uang penyuap dalang bangsawan
Harapan Anak Bangsa hanyalah Kebebasan di Negaranya sendiri
Untuk mengais puing-puing kehidupan yang kian tersingkir oleh Negara asing
Akankah Harapan itu berubah manjadi Realita?
Atau akan abadi menjadi harapan-harapan yang terpasung ketidak berdayaan
20-10-09

Senin, 19 Oktober 2009

“REFORMASI PENDIDIKAN MENGUBAH GENERASI BANGSA MANDIRI”

1 komentar
                                                                                  
PENDAHULUAN
Kemiskinan dari zaman dahulu hingga kini sangat sulit untuk didefinisikan. Ada beberapa orang yang mengatakan, kalau kemiskinan diukur dari tingkat biaya konsumtif seseorang. Sedangkan yang lain mengatakan, indikator kemiskinan adalah depriviasi atau kehilangan kemampuan, seperti penurunan tingkat gizi, buta huruf, hingga buruknya akses pada pelayanan kesehatan. Adapula yang mendefinisikan kemiskinan berdasarkan pendapatan yang mereka peroleh dari tempat kerjanya dan bahkan berdasarkan bentuk bangunan rumah tempat tinggalnya. (Eko Prasetyo; 2004, 8)
            Indonesia merupakan negara yang sangat beruntung bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Adapun keberuntungan yang dimiliki oleh Negara Indonesia ialah melimpahnya sumber daya alam yang telah telah lama diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang kita, namun kenapa dengan segala hal yang sangat melimpah Indonesia masih merupakan negara yang banyak memiliki penduduk yang termasuk golongan menengah kebawah? Dapat dikatakan Indonesia identik dengan kemiskinan. Ada banyak hal yang terjadi akibat dari kemiskinan, salah satunya ialah terputusnya dunia pendidikan yang seharusnya menjadi hak bagi setiap generasi bangsa. Padahal di dalam undang-undang yang telah ditetapkan Negara  mengatur babarapa hal tentang pendidikan, antara lain terdapat dalam pasal:
1)   Pasal 28 C
“Memgembangkan diri, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari IPTEK, seni dan budaya, memajukan diri secara kolektif”
2)   Pasal 31 ayat 1
“Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”
3)   Pasal 31 ayat 2
“setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”
4)   Pasal 31 ayat 3
“pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sisitem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur di dalam undang-undang”
5)   Pasal 31 ayat 4
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”
Dunia pendidikan adalah lingkungan yang berisi aktor-aktor yang mengalami perubahan sosial  besar. Perubahan ini terbentuk dari tatanan global yang juga sedang mengalami transformasi raksasa. Semenjak komunisme diruntuhkan, maka ide sosialisme menjadi basi dan kuno. Dunia harus sujud sepenuhnya pada gagasan demokrasi liberal yang kini menguasai semua arena kehidupan sosial. Demokrasi liberal ini memiliki sejumlah dogma yang menjadi kepercayaan dasarnya. Pertama, semua negara wajib mengadopsi sistem ekonomi liberal, yaitu sebuah sistem yang mengikat satu negara dengan negara lainnya berdasarkan pada aturan perdagangan bebas. Organisasi perdagangan internasional inilah yang mendesain semua kepentingan negara dan bahkan memberi aturan yang tidak dapat ditolak.
            Ekonomi liberal ini telah membuat semua negara dipacu untuk membuka pasar dan mencabut semua subsidi yang memiliki tujuan perlindungan. Pasar yang dibuka diharapkan akan memacu suatu negara untuk berada dalam kompetisi secara terus menerus. Hal ini memang menyenangkan bagi Negara yang memiliki modal industri raksasa, akan tetapi menyakitkan bagi Negara yang baru mengalami pertumbuhan awal. Aturan kedua, adalah melakukan privatisasi terhadap semua sector public. Pemerintah mulai dilucuti perannya agar tidak terus menerus melakukan control tetapi membiarkan sector swasta untuk mengambil-alih. Oleh karena itu, pemerintah dinyatakan tidak ‘beres’ dalam mengelola kepentingan public. Saat itu mulai bermunculan korupsi yang mewabah disemua lini. Hawa kediktatoran sangat menyengat dilingkungan para pemimpin birokrasi. Ketidak becusan ini membuat pemerintah menjadi institusi yang tidak layak dipercaya. Seharusnya sector public menyerahkannya pada swasta agar pengelolaannya lebih transparan dan dapat dipertanggung jawabkan.
            Keyakinan ketiga, yang menyertai system ekonomi liberar adalah menempatkan Negara sebagai penjamin bagi kelangsungan system ekonomi pasar. Terobosan ini memang bermula dari pencopotan semua layanan public dari Negara, namun lama kelamaan menjadi upaya untuk melakukan kapitalisasiatas semua bentuk layanan public. Termasuk dalam hal ini adalah lembaga pendidikan yang dulunya berperan sebagai institusi untuk pencerahan, kini hanyalah sebagai institusi yang fungsinya berorientasi pada pasar untuk mendapatkan keuntungan yang memuaskan. Tidak jarang bahkan Negara mengeluarkan serangkaian aturan hukum yang memberikan kebebasan penuh pada pasar untuk ikut mengelola pendidikan. Contoh mutakhir adalah membuat universitas berkedudukan sebagai badan hukum dan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mendirikan lembaga pendidikan dalam berbagai bentuk. Negara didorong untuk memfasilitasi setiap individu yang berhasrat mendirikan lembaga pendidikan dan mengurangi peran Negara dalam membentuk institusi pendidikan.
            Keyakinan berikutnya adalah mendorong semangat wirausaha serta memberikan jaminan maupun perlindungan hukum bagi setiap inovasi yang dilakukan individu. Termasuk dalam hal ini, terhadap penemuan-penemuan dalam lingkungan dunia pendidikan hendaknya segera diterapkan payung hukum. Inilah yang kemudian populer dengan nama hak atas kekayaan intelektual (I Wibowo & Francis Wahono; 2003, ). Dikatakan intelektual karena menyangkut temuan yang merangkum berbagai hasil kecerdasan, dimana proses perolehannya menghabiskan banyak energi dan biaya. Oleh karena itu hasil penemuan tersebut dilindungi sedangkan bagi pihak yang ingin memanfaatkannya harus melakukan pembayaran. Rezim Neoliberalisme telah mendapatkan pengetahuan sebagai ‘modal’ yang memiliki kekuatan uang. Temuan apapun kini memiliki nilai jual. Bahkan dasar pemberlakuan ketentuan seperti ini tertuang dalam berbagai bentuk aturan yang mengikat setiap Negara. Institusi pendidikan pun sangat tidak mudah untuk mengakses sejumlah karya intelektual, karena harus membayar hak cipta terlebih dahulu (Ibid, Eko Prasetyo; 33) 
Dalam era globalisasi tampaknya orientasi pendidikan masih lebih diarahkan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan orang yang berkepentingan saja dan kurang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan anak didik. Kurikulum sebagai komponen dalam pendidikan yang masih sangat berorentasi pada materi-materi dan belum mengarah pada child oriented (peserta didik), di dalam kurikulum 1994 yang sangat padat materinya adalah cerminan keinginan kebutuhan anak didik dan peran serta ilmu pengetahuan (Mastuhu; 2003, 139).
Akar permasalahan sistem pendidikan, sebenarnya terletak pada beban pengajaran kurikulum yang over load. Liburan yang hanya satu hari dalam seminggu mengisyaratkan bahwa beban pelajaran dan waktu belajar anak disekolah jah lebih berat dari pada beban orang tua yang bekerja dikantor. Jika beban anak sekolah lebih berat daripada beban kerja orang tua, tentu sulit diharapkan anak akan belajar belajar dalam waktu-waktu ekstranya dirumah. Sistem pendidikan saat ini masih menuntut anak untuk mengerjakan PR, kadang-kadang ada pula penambahan waktu belajar melalui les privat, bahkan PR juga harus dikerjakan pada waktu-waktu liburan. Kurikulum-kurikulum yang terlalu padat hanya akan membuat anak exhausted atau kelelahan yang berlebihan sehingga akibatnya anak akan kekeringan creativity. Pola pendidikan seperti ini lagi-lagi merupakan pola what-oriented education ‘lebih menekankan pada materi pengajaran, tanpa banyak memperhatikan kemampuan anak didiknya’ (Abdurrahman Mas’ud; 2002, 206)
 Tawuran antar pelajar dan hubungan bebas disekolah merupakan fenomena yang masih sangat sering tersaji disetiap pemberitaan lokal maupun nasional. Banyak orang yang berasumsi bahwa penyebab utamanya adalah pendidikan budi pekerti yang tidak lagi diperkenalkan disekolah-sekolah, sebagaimana yang telah diberian saat era 1960-1970an lalu. Penyebab lainnya adalah pendidikan agama tidak diiringi serimbang dengan materi pelajaran lainya yang membentuk akhlak, budi pekerti dan kepekaan terhadap lingkungan sekitar. Idealnya, pendidikan agama seharusnya mengimbangi materi-materi lainnya, selain itu juga termodelkan dengan tingkah laku sehari-hari pada para pemimpin, guru sekolah dan orang tua saat berada dirumahnya. Peran orang tua tidak kalah penting untuk membentuk karakter atau kepribadian anaknya. Jika selama ini para guru disekolah yang disalahkan akibat perilaku yang menyimpang anak didiknya, selain itu orang tua juga berperan dalam penyimpangan prikalu anaknya tersebut.
PEMBAHASAN
Banyak negara berkembang seperti Indonesia, mungkin sedang menghadapi persoalan yang sama di bidang pendidikan. Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan spesifik sesuai dengan keadaan setempat, umumnya mereka menghadapi dilemma ‘apakah pertumbuhan ekonomi yang lebih dahulu dipacu ataukah pendidikan yang lebih dahulu diutamakan’. Saat ini hampir semua orang percaya bahwa pendidikan adalah “jimat” yang membebaskan manusia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Schumacher misalnya menganggap pendidikan adalah sumberdaya yang terbesar. Ditegaskannya, bahwa bila kita sudah tidak mempunyai kepercayaan maka pendidikan adalah kunci segala-galanya .(Azyumardi Azra; 1999, 157) 
            Pengaruh kemiskinan lebih jauh bisa dilihat dari terlambatnya perkembangan kognitif, intelektual dan mental anak diusia sekolah. Dalam lingkungan mereka yang miskin sangat sulit sekali memperoleh hal-hal yang dapat mengembangkan kemampuan mereka tersebut. Hal tersebut sangat berlainan sekali dengan keluarga yang mampu dan terdidik. Mereka mempunyai kesempatan lebih luas mendapatkan fasilitas dan sarana guna mengembangkan kemampuan anak-anaknya. Akibatnya, perkembangan anak-anak dari golongan menengah kebawah pada umumnya tertinggal bila dibandingkan anak-anak dari golongan menengah keatas. Kondisi ini mempengaruhi hasil pendidikannya, sehingga banyak dari mereka yang tidak mampu menyelesaikan sekolah hingga tingkat akhir (Azyumardi; 159) 
            Pendidikan merupakan suatu proses yang mempunyai tujuan, biasanya diusahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada anak-anak atau orang-oarang yang sedang di didik. Setiap suasana pendidikan mengandung tujuan-tujuan, maklumat-maklumat berkenaan dengan pengalaman-pengalaman yang dapat dinyatakan sebagai kandungan, dan metode yang sesuai untuk mempersembahkan kandungan itu secara berkesan. Jadi perumusan mana-mana teori pendidikan tidak dapat tidak harus melibatkan perbincangan tentang tiga komponen utama, yaitu tujuan-tujuan, kandungan, dan metode. Tujuan pendidikan merupakan perkara yang terpenting, sebab menentukan kandungan dan metode pendidikannya. Akan tetapi hal tersebut jangan diartikan bahwa dua komponen lainnya yaitu kandungan dan metode tidak penting. Sebab kekurangan dalam metode atau kandungan akan merusakkan proses pendidikan itu sendiri walaupun tujuannya baik. (Hasan Langgulung; 1989, 32). Selain itu Hasan Langgulung juga menjabarkan aspek atau unsur utama dari pendidikan antara lain:
a.   Tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan tersebut. Dengan lebih tegas lagi orang yang bagaimana yang ingin dibentuk melalui pendidikan tersebut?
b.   Pengetahuan (knowledge), informasi-informasi, data-data, aktivitas-aktivitas dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum penunjang pendidikan tersebut.bagian inilah yang biasa disebut mata pelajaran dan yang dimasukan dalam syllabus.
c.   Metode dan cara-cara mengajar yang dipakai oleh tenaga pengajar untuk mengajar dan mendorong anak didik belajar dan membawa mereka kearah yang dikehendaki kurikulum.
d.   Metode dan cara penilaian yang dipergunakan dalam mengukur dan menilai hasil proses pendidikan yang telah direncanakan seperti ujian akhir semester (Ibid, Hasan Langgulung,145- 146)
            Selama masa Orde Baru telah terjadi pergantian kurikulum samapai empat kali, yaitu kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994. Prof. Dr. H.A.Tilaar menjelaskan bahwa,
A.  Kurikulum 1968.
Adalah mempertinggi mental- moral- budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan, membina serta memperkembangkan fisik yang kuat dan sehat. Desain kurikulum yang semacam itu didasarkan pada TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan dan kebudayaan, yang kemudian menjadi dasar perumusan tujuan pendidikan sebagai media untuk membentuk manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan UUD 1945 dan isi UUD 1945. Pendidikan Agama mulai diajarkan di sekolah-sekolah secara formal juga dimulai saat kurikulum 1968, dimana sebelumnya adalah pendidika budi pekerti.
B.  Kurikulum 1975.
 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai memperkenalkan system belajar baru yang disebut CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) yang diadopsi dari Inggris. Pada dasarnya system ini untuk mendorong murid aktif belajar sendiri sedangkan para guru hanya memberikan pengarahan dari belakang. Berbeda dengan system sebelumnya yang didominasi oleh pemandangan murid yang aktif mendengar dan mencatat apa yang di ucapkan oleh gurunya. Sedangkan pada system CBSA ini murid berdiskusi, bertanya bahkan bisa sampai menbedat argumentasi gurunya yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Sistem CBSA ini seakan menggantikan system belajar baru dengan modul atau yang lebih dikenal dengan nama PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) yang dikembangkan oleh delapan IKIP Negeri sejak tahun 1971. System ini sangat bagus akan tetapi dianggap mahal karena harus menggunakan modul dan guru pilihan, disamping merupakan sekolah terpadu dari TK sampai dengan SMTA. Akan tetapi keduanya memiliki prinsip yang sama, yaitu memprioritaskan memberikan kail kepada anak didiknya. Sedangkan perbedaannya adalah PPSP penekanannya lebih dari pada individunya, sedangkan CBSA lebih pada penekanan belajar kelompok.
C.  Kurikulum 1984.
Belum genap kurikulum 1975 berusia 10 tahun system pendidikan diubah kembali saat mentri Pendidikan dan Budaya di gantikan oleh Nugroho Notosusanto (Maret 1983 – Mei 1985) digantikan oleh kurikulum 1984. Dimana pada saat itu dimasukannya pelajatan baru PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) sebagai pelajaran wajib yang harus diberikan saat berada di TK sampai SMTA, baik sekolah umum maupun kejuruan. Adapun ide dasar mentri Nugroho mengadakan pelajaran PSPB itu adalah agar para murid lebih mengenal sejarah bangsanya sendiri lebih baik, dan dapat mengambil pelajaran dari pelajaran sejarah tersebut. Oleh karena itu pelajaran sejarah tidak hanya dihafalkan, melainkan dibuat menjadi menarik agar dapat menumbuhkan semangat kebanggasaan. Namun materi ini menimbulkan berbagai kontoversi karena dinilai tumpang tindih dengan pelajaran IPS, Sejarah Nasional dan PMP dimana semua pelajaran tersebut membahas mengenai kepahlawanan Nasional.
Namun setelah Fuad Hassan diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan pada tanggal 30 juli 1985 menggantikan menteri Nugroho Notosusanto karena meninggal dunia pada tanggal 3 juni 1985 dan selama masa kosong itu menteri pendidikan dan kebudayaan dijabat oleh JB. Sumarlin yang pada saat itu menjabat sebagai menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan tampilnya Fuad Hassan ini menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan tersebut dapat sedikit  mengurangi ketegangan antara sejarahwan yang pro-kekuasaan dengan sejarawan yang kritis karena menteri Fuad Hassan berupaya menggabungkan materi PSPB kedalam materi Sejarah Nasional dan PMP. Integrasi tersebut merupakan bentuk jalan tengah yang dapat ditempuh untuk menguragi kontroversi yang ada dimasyarakat.
Pergantian menteri dari Nugroho Notosusanto kepada Fuad Hasan tidak terjadi perubahan mendasar. Hal itu karena sejak diangkat menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan, Fuad Hasan berjanji tidak akan menjadikan masyarakat sebagai kelinci percobaan, sehingga muncullah pomeo ganti mentri ganti pejabat hingga kurikulum. Kecuali meredam adanya ketegangan atau kontroversi pelajaran PSPB, Fuad Hasan lebih berkonsentrasi mempersiapkan lahirnya UU No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diharapkan menjadi pedoman pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Selain itu juga melakukan persiapan untuk lahirnya kurikulum baru yakni kurikulum 1994. Dengan kata lain, kurikulum 1994 sebetulnya sudah lama dipersiapkan, yaitu semenjak Fuad Hasan menjadi menteri pendidikan dan kebudayaan (30 Juli 1985 – Maret 1993), meskipun kurikulum 1994 baru diberlakukan setelah menteri pendidikan dan kebudayaan dijabat oleh Wardiman Djojonegoro (1993-1998)
D.  Kurikulum 1994
Berbeda dengan kurikulum 1984 yang proses pemunculannya amat cepat, langsung diputuskan oleh Nugroho Notosusanto. Kurikulum 1994 dipersiapkan cukup lama karena dimulai sejak menteri pendidikan dan kebudayaan di jabat oleh Fuad Hasan. Asumsinya, kurikulum 1994 akan jauh lebih baik dari pada kurikulum 1984. Kurikulum 1994 dikatakan lebih menonjol katera mulai dominannya pelajaran matematika serta bahasa (Indonesia dan Inggris) dalam seluruh jenjang pendidikan. Akan tetapi terlalu minimnya pelajaran seni, baik seni rupa, seni suara, seni music, dan seni-seni lainnya.
Selain itu Wardiman Djojonegoro juga mengubah sestem semester menjadi catur wulan dan mengganti sebutan SMP (Sekolah Menengah Pertama) menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dengan alasan dalam konsep wajib belajar Sembilan tahun, SMP bukan bagian dari sekolah menengah, tetapi masuk kedalam kategori pendidikan dasar. Selain mengubah nama SMP menjadi SLTP, sedangkan SMU  diganti SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) untuk menyederhanakan sebutan STM (Sekolah Tekhnik Menengah), SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas), SMKK (Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga), SPPMA (Sekolah Pertanian dan Pekebunan Menengah Atas), SMIK (Sekolah Menengah Industri Kerajinan), SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa), SMKI (Sekolah Menengah Kesenian Indonesia) dan sebagainya. Penyederhanaan ini dapat dikatakan sebagai proses pemiskinan wacana dan sekaligus mereduksi makna pendidikan itu sendiri demi kepentingan praktis pragmatis (Darmaningtyas; 2004, 69-78).
Berdasarkan kenyataan tersebut dapat dikatakan kurikulum 1994 sebagai proses pemiskinan cita rasa seni yang dimiliki manusiakarena manusia direduksi hanya untuk menguasai teknologi saja. Para penyusun kurikulum tampaknya lupa bahwa teknologi hanya dapat berkembang baik bila muncul kreativitas dan inovasi di masyarakat. Sedangkan kreativitas dan inovasi tersebut terbangun dan dapat tumbuh, salah satunya melalui seni dan budaya. Kurikulum-kurikulum yang dibuat saat Orde Baru tersebut, secara konseptual cenderung menjauhkan para murid dari akar lingkungan geografis, ekonomis, sosial, budaya dan agamanya. Maka tidak mengherankan jika kemudian pendidikan selama Orde Baru tersebut justru hanya melahirkan kaum urban yang semakin banyak karena mereka tidak lagi mau atau tidak betah tinggal didaerahnya sendiri. Mereka lebih memilih menjadi anak jalanan, pemulung, pedagang asongan atau bahkan  pengangguran dikota-kota besar dari pada bekerja sebagai petani atau nelayan di tanah kelahirannya. Kurikulum ini juga melahirkan orang-orang yang tidak konsisten, disatu pihak pengetaua agamanya kuat namun dipihak lain perilaku mereka tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang telah mereka ketahui. Misalnya, korupsi, penipu, menindas sesamanya, dan tidak peka terhadap penderitaan orang lain. Inilah dampak negative dari pendidikan nasional terkini, bukan semakin menumbuhkan rasa cinta anak didiknya terhadap profesi, daerah, bangsa dan sesamanya justru sebaliknya semakin menimbulkan kebencian murid terhadap profesi orang tuanya, pada daerahnya, pada bangsanya dan pada sesama manusia. 
E. Kurikulum 2004
Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) adalah kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama dalam tahap pengembangan ide akan dipengaruhi oleh kemungkinan-kemungkinan pendekatan, kompetensi dapat menjawab tantangan yang muncul. Artinya, pada waktu mengembangkan atau mengadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka pengembang kurikulum harus mengenal benar landasan filosofi, kekuatan dan kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan, serta jangkauan validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Harus diingat bahwa kompetensi bersifat terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja atau dunia profesi maupun dunia ilmu.
Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Vomor 232/U/2000 Mail menetapkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa. Dalam Surat Keputusan tersebut dikemukakan struktur kurikulum.Bersasarkan pemikiran tentang tujuan belajar tersebut maka mata kuliah dalam kurikulum perguruan tinggi dibagi atas 5 kelompok yaitu: (1) Mata. kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) (2) Mata Kuliah Keilmuan Dan Ketrampilan (MKK) (3) Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB) (4) Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB), dan (5) Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB). (www. ditpertais. net; Swara Ditpertais: No. 18 Th. II, 30 Oktober 2004)
            Kurikulum inti yang merupakan penciri kompetensi utama, bersifat:
1)      Dasar untuk mencapai kompetensi lulusan
2)      Acuan baku minimal mutu penyelenggaraan program studi
3)      Berlaku secara. nasional dan internasional
4)      Lentur dan akomodatif terhadap perubahan yang sangat cepat di masa mendatang,
5)      Kesepakatan bersama antara kalangan perguruan tinggi, masyarakat profesi, dan pengguna lulusan
            Dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut:
1)      Penilaian hasil belajar.
2)      Penilaian proses belajar mengajar.
3)      Penilaian kompetensi mengajar dosen.
4)      Penilaian relevansi kurikulum.
5)      Penilaian daya dukung sarana dan fasilitas.
6)       Penilaian program (akreditasi)
            Dengan adanya kurikulum berbasis kompetensi maka sistem penilaian hasil belajar haruslah berubah. Ciri utama perubahan penilaiannya adalah terletak pada pelaksanaan penilaian yang berkelanjutan serta komprehensif, yang mencakup aspek-aspek berikut:
1)      Penilaian hasil belajar.
2)      Penilaian proses belajar mengajar.
3)      Penilaian kompetensi mengajar dosen.
4)      Penilaian relevansi kurikulum.
5)      Penilaian daya dukung sarana. dan fasilitas.
6)      Penilaian program (akreditasi).
Sementara itu strategi yang dapat digunakan adalah:
1)      Mengartikulasikan standar dan desain penilaian di lingkungan pendidikan pendidikan tinggi.
2)      Mengembangkan kemampuan dosen untuk melakukan dan memanfaatkan proses pernbelajaran.
3)      Mengembangkan kemampuan subyek didik untuk memanfaatkan hasil penilaian dalam meningkatkan efektifitas belajar mereka.
4)      Memantau dan menilai dampak jangka panjang terhadap proses dan hasil belajar.
F. Kurikulum 2006
            Kurikulum 2004 yang berbasis Kompetensi belum juga berjalan dengan stabil, bahkan dibilang tepat dan sesuai aja masih belum dapat dinilai/Evaluasi, bahkan secara nalar hasil lulusannya baru dilihat
tahun 2007 untuk PRODUK KUR 2004, Kita baru aja cuci gudang dan bersih-bersih sisa-sisa kurikulum. Banyak kalangan, termasuk aparat Depdiknas dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membuat statement bahwa Kurikulum 2004 (atau KBK) tidak terlalu jauh berbeda dengan Kurikulum 2006 yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan baru ditetapkan pemberlakuannya oleh Mendiknas melalui Peraturan Mendiknas No. 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006.
            KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) adalah kurikulum yang disusun dan silaksanakan oleh masing-masing suatu pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat suatu pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Dimana silabus merupakan rencana pembelajaan pada suatu kelompok mata pelajaran atau tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi atau pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indicator, penilaian, alokasi waktu dan sumber/ bahan/ alat belajar, selain itu silabus juga merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pemelajaran dan indicator pencapaian kompetensi untuk penilaian. 
            KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)      Berpusat pada potensi, perkembanagn, kebuhuhan, dan kepentingan peserta didik serta lingkungannya.
b)      Beragam dan terpadu.
c)      Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan tekhnologi.
d)     Relevan dengan kebutuhan dalam kehidupan.
e)      Menyeluruh dan berkesinambungan.
f)       Belajar sepanjang hayat.
g)      Seimbang antara kepentngan nasional dan kepentingan daerah.

            Saat berbicara tentang tujuan pendidikan, maka secara otomatis ada kaitannya dengan tujuan hidup. Hal tersebut terjadi karena pendidikan bertujuan untuk memelihara kehidupan manusia. Didalam konteks Islam, al- Qur’an surat al-an’am ayat 162 dengan tegas mengatakan bahwa apapun tindakan yang dikerjakan oleh manusia haruslah dikaitkan dengan Allah “katakanlah (Muhammad); sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam” (Depag RI; 2006, 150)
            Selain Negara yang mengatur pendidikan , yang harus ditempuh atau diterima oleh warga negaranya di dalam agamapun telah diterangkan. Adapun tugas utama manusia dimuka bumi ini adalah pengabdi (surat al- Dzariyat ayat 56 ”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”)  kepada Tuhan dan khalifah yang bertujuan memakmurkan bumi (al- Baqarah; 30 ”dan (ingatlah ketika Tuhan-mu barfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi’ mereka berkata ‘Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji- Mu dan menyucikan nama- Mu?’ Dia Berfirman ‘sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” dengan segala yang dimilikinya. Dapat diartikan bahwa al- Qur’an secara kategorikal mendudukan menusia kedalam dua fungsi pokok, yaitu sebagai abdul (hamba Allah) dan sebagai khalifatullah fil ardl (wakil Tuhan dimuka bumi). Pandangan kategorikal demikian tidak mengisyaratkan suatu pengertian yang bercorak dualism-dikotomik dengan menyebutkan fungsi manusia kedalam konsep tersebut, Al- Qur’an ingin menjelaskan muatan fungsional yang harus diemban oleh manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kesejahteraan dalam kehidupannya dimuka bumi
            Didalam hubungannya dengan tugas kesejahteraan manusia dimuka bumi (sebagai Abdullah maupun khalifatullah), maka ilmu pengetahuan sangat berpotensi dalam memberikan judgement kepada segenap manusia. Tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan (al- ‘ilm) dengan seperangkat metodologinya, mempunyai kemampuan yang bersifat parti pularistik dalam membaca realitas obyektif dan mampu memberikan informasi secara operasional dalam realita kehidupan manusia. Selain itu ilmu pengetahuan memiliki kedudukan tinggi didalam pandangan Islam, antara lain;
1.   Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencari dan menemukan keberadaan-keberadaan dalam kehidupan manusia, sekalipun bersifat relatif, namun kebenaran-kebenaran tersebut sebagai tonggak sejarah yang mesti dilalui oleh manusia dalam perjalanan sejarah untuk menuju pada kebenaran yang mutlak. Keyakinan akan kebenaran mutlak itu pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia ketika ia telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (surat al- Fushshilat; 53 “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al- Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhan-mu menjadi saksi atas segala sesuatu”)
2.   Ilmu pengetahuan adalah prasyarat amal shalehah. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan yang dapat berjalan diatas kebenaran yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve (syarat) kepada Tuhan Yang Maha Esa (surat al- Mujadilah; 11 “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan membei kelapangan kepadamu. Dan apabila dikatakan ‘Berdirilah kamu’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan”) (Syamsul & Ahmad; 2001, 126)  
Menyikapi ilmu pengetahuan sebagai prasyarat amal shaleh tersebut, maka amal baru tersebut bisa terwujud dikala memiliki ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan tidak akan terwujud perbuatan yang memiliki makna bagi kehidupan manusia. Demikian pula, amal tidak akan terwujud jika tidak ada sikap percaya dalam dirinya, karena kerena keraguan tidak dapat mewujudkan perbuatan. kan perbuatan. Dapat dikatakan bahwa amal atau perbuatan yang bermakna bagi kehidupan manusia dan kemanusiaannya, baru dapat terwujud jika sebelumnya telah ada iman dan ilmu pengetahuan.
Dalam perspektif Islam, sumber ilmu dapat dibagi menjadi tiga antara lain:
a.   Al- Qur’an dan Hadist.
b.   Akal (rasional)
c.   Intuisi (qalb)
            Dalam konteks ini, secara aksiologi ilmu hendaknya ditujukan sebagai perwujudan pengabdian vertical dan horizontal. Oleh karenanya, dalam perspektif Islam, ilmu tidak bebas sebagaimana yang dikembangkan ilmuan barat, akan tetapi sarat nilai. Sedangkan dalam perspektif modern, sumber ilmu tidak bisa dilepaskan dari empat metode, antara lain:
a.   Rasionalisme folosofis yang cenderung atau persepsi inderawi.
b.   Rasionalisme sekuler yang cenderung lebih bersandar pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang paling benar.
c.   Empirisme filosofis atau empirisme logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa dan menelantarkan aspek non empiris sebagai zat supranatural (S.M.N. al Attas; 1995, 34) 
d.   Sistem etika barat barat bercorak antroposentris, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat dari segala-galanya. Sebagai sosok individu yang bebas tanpa batas. (A. Syafii Ma’arif; 1993, 149)
Berbeda dengan perspektif modern, sistem etika Islam lebih memiliki corak teo-antroposentris, yaitu meletakan manusia sebagai pelaku sejarah dan sekaligus makhluk Tuhan. Kajiannya bukan hanya fenomena yang mampu ditangkap panca indra saja, akan tetapi hakekat metafisik. Dalam hal ini, sistem etika Islam mengkritik landasan filosofis dan metode-metode yang dilahirkan oleh ilmu-ilmu modern. Sebab, objek kajian yang menjadi sorotan utama hanyalah yang berkaitan pada sesuatu yang dapat diterima pancaindra dan alat bantunya belaka. Padahal masih banyak realitas lain sebenarnya yang memerlukan penelitian yang mendalam untk mengungkapnya. Dalam konteks  ini terlihat demikian terbatasnya ruang lingkup sumber ilmu yang dikembangkan oleh ilmuan modern. (Samsul Nizar; 2005, 179-180)  
Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga Negara, baik pendidikan dasar, menengah, bahkan hingga pendidikan tinggi. Berarti setiap anak dari semua golongan masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengeyam pendidikan semua tingkatan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Pada dasarnya, persyaratan yang diperlukan hanyalah kemauan dan keinginan berprestasi bagi anak yang bersangkutan, apabila kemauan dan prestasinya baik, maka kesempatan belajar sampai ketingkat tertinggi terbuka luas baginya. Meskipun ketentuan-ketentuan konstitusional mengamanatkan tugas mulia pendidikan demikian, tetapi diakui sampai dewasa ini pendidikan nasional Indonesia masih bergelut dengan masalah-masalah yang amat kompleks.
Sekalipun para generasi bangsa dapat menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang tertinggi yang mereka inginkan, namun para lulusan sekolah hingga perguruan tinggi di Indonesia belum siap untuk mendapatkan lapangan kerja. System pendidikan yang diterapkan selama ini adalah system warisan turun temurun yang ditambal sulam disana-sini, dan ternyata tidak mampu menjawab tantangan masa kini. Dengan sendirinya hasil (out-put) pendidikan sangat sulit untuk cocok dengan kebutuhan riil dewasa ini dan masa depan. Terdapat banyak out-put pendidikan yang ketrampilan, kecakapan, dan sikapnya tidak relevan dengan kebutuhan riil masyarakat, sehingga mereka tidak dapat memperoleh tempat yang semestinya sesuai jurusan yang mereka pelajari saat melakukan pendidikan formalnya dilapangan kerja yang memang semakin sulit dan kompetitif.
Ditengah kondisi yang tidak menguntungkan ini, sangat kecil kesempatan bagi lulusan SD, SMP dan SMA untuk memasuki lapangan kerja. Secara kualitatif lulusan tersebut tidak memiliki ketrampilan fungsional. Ketrampilan yang mereka miliki belum atau tepatnya jauh dari memadai untuk memenuhi tuntutan kualifikasi lapangan kerja yang ada. Hal tersebut terjadi karena para lulusan SD, SMP, SMA bukan meupakan tempat latihan dan pendidikan untuk disiapkan menjadi tenaga kerja yang siap pakai. Permasalah juga dialami oleh lulusan perguruan tinggi, karena terdapatnya distorsi antara kuantitas lulusan dan lapangan kerja yang tersedia. Terlihat jelas banyak sekali pengangguran yang bertitel sarjana. Kualitas lulusan perguruan tinggi memang masih belum memenuhi kebutuhan akan tenaga intelegensia yang trampil dan ahli dalam bidangnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang lulusan perguruan tinggi hanya merupakan pembendaharaan dari materi yang telah disediakan. Disamping itu sistem pendidikannya pun kebanyakan bersifat verbalistis, sehingga tidak terdapat pendekatan antara pengetahuan praktis dan teoritis. Oleh karena itu kebanyakan dari mereka yang tidak mampu mandiri dan professional dalam bidangnya.(Azyumardi Azra; 1999, 154-155) 
            PENUTUP
                 Dari berbagai macam masalah-masalah yang dipaparkan diatas belum seluruhnya menggambarkan fenomena kesulitan para masyarakat saat menghadapi dunia pendidikan di Indonesia. Dengan menghadapi berbagai problem kependidikan yang pelik tersebut, memang telah banyak langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk memperbaiki system pendidikan tersebut. Mulai dari penyempurnaan sistem pendidikan, penambahan sarana serta fasilitas, penambahan dan peningkatan kualitas tenaga pengajar dan lain sebagainya. Semua langkah-langkah tersebut pastilah dengan tidak serta merta terus mampu memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia secara keseluruhan. Bagaimanapun, penyempurnaan dan perbaikan dunia pendidikan nasional harus berjalan sejajar dengan perbaikan dan peningkatan pada aspek-aspek lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun selama ini, yang belum pernah dilakukan adalah aspek evaluasi.
                        Secara umum evaluasi yang dilakukan dari dulu hingga kini, berjalan hanya satu arah, yaitu yang dievaluasi hanyalah elemen anak didik dengan member nilai semesteran. Karena masalah kultur maka anak didik tidak memperoleh kesempatan untuk member input balik pada sekolah mengenai gurunya, apalagi mengevaluasi sistem pendidikan yang mereka terima selama menempuh penidikan. Dalam humanism religious, anak didik yang merupakan generasi penerus bangsa kelak, harus dipandang sebagai individu yang memiliki otoitas sebagai individu pula. Mampu mengambil keputusan yang didasari sikap tanggung jawab sejak dini. Implementasi dari sikap tersebut adalah suatu keharusan bahwa anak didik diberi kesempatan untuk mengevaluasi, dalam rangka perbaikan mendatang atas apa yang mereka lihat, hadapi dan rasakan sehari-hari. Guru merupakan mitra yang terdekat dalam proses belajar, maka sudah seharusnya para anak didik ikut andil dalam proses mengevaluasi. Hasil evaluasi para sisiwa akan lebih representative dan objektif jika dibandingkan dengan evaluasi yang dilakukan oleh tenaga pengawas yang ada dan belum tentu sebulan sekali melakukan interaksi.
DAFTAR PUSTAKA.
Al- Attas, S.M.N. 1995. Islam dan Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzani, Bandung, Mizan.
Arifin, Syamsul & Barizi, Ahmad, 2001. Perbandingan Pendidikan Berbasis Pluralisme dan Demokrasi, Malang, UMM Press.
Azra, Azyumardi, 1999. Esei-Esei Intelektual Muslim Pendidikan Islam, Ciputat, Logos Wacana Ilmu.
Darmaningtyas, 2004. Pendidikan Yang Memiskinkan, Yogyakarta, Galang Press.
Depag RI, 2006. Al- Qur’an dan Terjemah, Bandung, Diponegoro.
Khaeruddin & Junaedi, Mahfud, 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ‘konsep dan implementasinya di madrasah, Yogyakarta, Nuansa Aksara
Langgulung, Hasan, 1989. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan, Jakarta, Radar Jaya Offset.
Ma’arif, A. Syafi’i, 1993. Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung, Mizan.
Mastuhu, 2003. Menata Ulang Pemikiran Sisdiknas, Yogyakarta, Safari Persada Press.
Mas’ud, Abdurrahman, 2002. Menggagas Format Pendidikan Nondikatomik, Yogyakarta, Gama Media.
Nizar, Samsul, 2005. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam ‘Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Ciputat, Quantum Teaching.
Prasetyo, Eko, 2004, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta, Resist Book.
Wibowo, I & Wahono, Francis, 2003, Neoliberalisme, Yogyakarta, Pustaka Rakyat Cerdas.         

About me

Foto saya
Denpasar, Bali, Indonesia
Saya anak yg dilahirkan diDenpasar-Bali, beruntung sy dpt kuliah di luar Bali krn scr otomatis sy dpt lbh byk beradaptasi dgn suasana baru n mengenal lbh byk karakter org sbg proses pendewasaan unk diri sy pribadi.Berpetualang pengalaman baru itu merupakan tantangn menarik bagi sy,Bersyukur sy dilahirkan pd kelg yg demokratis n tdk otoriter dlm menentukan pilihan hidup.
 

PARADIGMA KRITIS Design by Insight © 2009